s ejarah piramida
Seperti
apakah situs Megalitik Gunung Padang ?
Penasaran
dengan Gunung Padang akhirnya membawa saya ke Gunung Padang ini untuk melihat
dengan mata kepala sendiri supaya tidakmudah “ditipu”. Bersama-sama
dengan Pengurus Pusat IAGI hari Sabtu 25 Februari kemarin melakukan ekskursi ke
Gunung Padang.
“Pakdhe, katanya disana cuman ada
batu ditumpuk-tumpuk ya ?”
“Peninggalan budaya megalith memang
hanya menata dan sedikit mengukir batu Thole”
Naik ke
Gunung Padang bukan seperti naik Gunung pada umumnya yang sampai berjam-jam.
Tetapi hanya menaiki tangga sejumlah 400an langkah. Namun menaiki dalam sudut
lereng yang sangat terjal. Secara umum Gunung Padang tidak disebut sebagai piramid
tetapi sebagai punden berundak. Namun banyak yang salahnya sudah kaprah ketika
menyebutkan setiap peninggalan purba berupa penumpukan batu disebut sebagai
piramid.
Sebelum
bercerita tentang Gunung Padang, ibawah ini tulisan Pak Awang tentang situs Megalith
Gunung Padang . Tulisan ini yang menjadi pegangan sewaktu PP-IAGI (Pengurus
Pusat Ikatan Ahli Geologi Indonesia) meninjau Gunung Padang.
Sedikit tentang Kebudayaan Megalitikum
Megalitikum
(mega‐besar, litos‐batu: batu
besar) adalah suatu kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan‐bangunan
dari batu‐batu besar (Sukmono, 1973, 1990). Batu‐batu ini
biasanya tidak dikerjakan halus‐halus, hanya
diratakan secara kasar untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan.
Kebudayaan
megalitikum berakar pada zaman Neolitikum, tetapi terutama berkembang pada
zaman Logam. Hal ini diketahui berdasarkan penemuan pada banyak hasil
kebudayaan megalitikum (misalnya kubur batu) ditemukan juga banyak perhiasan
dan peralatan dari perunggu atau besi. Periode kebudayaan megalitikum relatif,
berbeda‐beda dari satu wilayah negara ke negara lain. Ada yang
dimulai sekitar 4000 SM (sebelum Masehi), ada yang bahkan masih berlangsung
sampai abad modern bahkan sampai sekarang seperti di beberapa tempat di
Indonesia (Nias, Sumba, Flores, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara).
Hasil‐hasil
terpenting kebudayaan megalitikum adalah:
- menhir:
tiang/tugu batu sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek
moyang,
- dolmen: meja
batu tempat sesaji atau sebagai atap kuburan,
- sarkofagus/keranda/waruga:
peti batu untuk mayat,
- kubur
batu/pandusa: kuburan dengan dinding‐dinding
batu (bukan bentuk peti batu),
- punden
berundak:
bangunan pemujaan yang disusun bertingkat‐tingkat,
dan
- arca:
patung melambangkan nenek moyang
Situs Megalitikum Gunung Padang
“Gunung
Padang” adalah nama yang diberikan kepada sebuah situs (tempat peninggalan
kebudayaan purbakala) berupa bangunan punden berundak sehingga menyerupai
sebuah bukit/gunung. Situs Gunung Padang terletak di sebuah kawasan di antara
Cianjur bagian utara dan Cianjur bagian selatan, sekitar 25 km sebelah selatan
baratdaya kota Cianjur. Berdasarkan pengukuran GPS, lokasi situs ini berada
pada koordinat 06°59,522’ LS dan 107°03,363 BT pada ketinggian 894 m dpl di
dasar situs. Lokasi dapat ditempuh menggunakan kendaraan bus kecil (tidak dapat
sampai lokasi, 3 km sebelum lokasi harus berhenti), mobil jeep dan sejenisnya
(bukan sedan) sampai lokasi, atau motor sampai lokasi.
Kondisi
jalan bervariasi dari buruk sampai bagus dengan dominan sedang. Dari kota
Cianjur, lokasi dapat ditempuh menuju Sukabumi, kemudian berbelok ke arah jalan
menuju Warungkondang dan Kancana sampai ke Lampegan. Sebelum sampai Lampegan,
yang merupakan stasiun peninggalan Belanda, ada jalan berbelok menuju situs
Gunung Padang. Papan petunjuk jalan lokasi situs cukup membantu. Perjalanan ke
arah situs berada di kawasan perkebunan teh. Secara administratif, situs ini
termasuk ke dalam Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat. Situs ini ada dalam pengelolaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Serang.
Situs Gunung
Padang merupakan Punden Berundak yang tidak simetris, berbeda dengan punden
berundak simetris seperti Borrobudur, juga berbeda dengan punden berundak
simetris lainnya yang ditemukan di Jawa Barat seperti situs Lebak Sibedug di
Banten Selatan. Sebuah punden berundak tidak simetris menunjukkan bahwa
pembangunan punden ini mementingkan satu arah saja ke mana bagunan ini
menghadap.
Situs Gunung
Padang terdiri atas lima teras (tingkatan). Dasar situs terdapat di 06°59,522’
LS , 107°03,363 BT lokasi ketinggian 894 m dpl (di atas permukaan laut),
data setiap teras adalah sebagai berikut:
- teras
pertama berada di lokasi 06°59,617’ LS dan 107°03,367 BT pada ketinggian
983 m dpl, arah teras menghadap ke mataangin utara baratlaut (azimut 335°
UT),
- teras
kedua berada di lokasi 06°59,631’ LS dan 107°03,373 BT pada ketinggian 985
m dpl, arah teras menghadap ke mataangin utara baratlaut (azimut 337° UT),
- teras
ketiga berada di lokasi 06°59,652’ LS dan 107°03,381 BT pada ketinggian
986 m dpl, arah teras menghadap ke mataangin utara baratlaut (azimut 335°
UT),
- teras
keempat berada di lokasi 06°59,658’ LS dan 107°03,380 BT pada ketinggian
987,5 m dpl, arah teras menghadap ke mataangin utarabaratlaut (azimut 330°
UT).
- teras
kelima berada di lokasi 06°59,666’ LS dan 107°03,383 BT pada ketinggian
989 m dpl, arah teras menghadap ke mataangin utarabaratlaut (azimut 345°
UT).
Berdasarkan
data di atas, tinggi punden berundak situs Gunung Padang adalah 95 meter dengan
arah utama teras menuju utara baratlaut dengan rata‐rata
orientasi (azimut 336,40 ° UT). Memperhatikan titik lokasi menurut garis
lintang pada setiap teras, dapat dilihat bahwa dari teras 1 ke teras 5 membujur
dari utara ke selatan dengan beda tinggi 6 m dari teras 1 ke teras 5.
Bahan
bangunan pembuat situs adalah batu‐batu besar
andesit, andesit basaltik, dan basal berbentuk tiang‐tiang dengan
panjang dominan sekitar satu meter berdiameter dominan 20 cm. Tiang‐tiang batuan
ini mempunyai sisi‐sisi membentuk segibanyak dengan bentuk dominan
membentuk tiang batu empat sisi (tetragon) atau lima sisi (pentagon). Setiap
teras mempunyai pola‐pola bangunan batu yang berbeda‐beda yang
ditujukan untuk berbagai fungsi. Teras pertama merupakan teras terluas dengan
jumlah batuan paling banyak, teras kedua berkurang jumlah batunya, teras ke‐3 sampai ke‐5 merupakan
teras‐teras yang jumlah batuannya tidak banyak. Luas area
ini secara keseluruhan dilaporkan sekitar tiga hektare (30.000 m2)dengan luas
total lima teras 3132 m2 sehingga di beberapa publikasi internet dinyatakan
sebagai situs megalitikum terluas di Asia Tenggara.
Ke sebelah
utara baratlaut Gunung Padang terdapat Gunung Gede (2950 m dpl) pada jarak
sekitar 25 km, di sebelah tenggara Gunung Gede terdapat puncak‐puncak lain
yang membentuk kelurusan sekitar 330‐340° UT ke
arah situs Gunung Padang, yaitu Gunung Kancana (1233 m dpl) dan Pasir (bukit)
Pogor (999 m dpl).
Secara
teknis, situs Gunung Padang pertama kali dilaporkan keberadaannya oleh peneliti
kepurbakalaan zaman Belanda: N.J. Krom, seorang ahli kepurbakaan Hindu di
Nusantara.
Laporan
pertama tentang Gunung Padang muncul dalam laporan tahunan Dinas Purbakala
Hindia Belanda tahun 1914 (Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in
Nederlandsch‐Indie). N.J. Krom tidak melakukan penelitian mendalam
atasnya, hanya menyebutkan bahwa situs ini diperkirakannya sebagai sebuah
kuburan purbakala. Situs ini kemudian dilaporkan kembali keberadaannya pada
tahun 1979 oleh penduduk setempat kepada penilik kebudayaan dari pemerintah
daerah. Sejak itu, situs ini telah diteliti cukup mendalam meskipun masih
menyisakan berbagai kontroversi. Para ahli purbakala atau yang meminati
kepurbakalaan telah melakukan berbagai penelitian atas situs ini. Sebagian
besar hasil penelitiannya tidak bisa diakses dengan mudah oleh umum, hanya
tersimpan sebagai publikasi ilmiah profesional. Beberapa lembaga yang pernah
melakukan penelitian di sini adalah: Direktorat Sejarah dan Purbakala, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Jawa Barat, Balai Arkeologi Bandung dan sebuah lembaga swasta Bandung Fe
Institute.
Masyarakat
umum baik dari dalam maupun luar negeri telah mengunjungi situs ini. Beberapa
catatan kunjungannya bisa ditemukan di beberapa situs internet, baik dalam bentuk
kisah perjalanan maupun tulisan‐tulisan yang
lebih serius. Keakurasian tulisantulisan di internet itu bervariasi dari yang
meragukan sampai yang cukup berbobot ilmiah.
Pak Awang
melakuka kunjungan lapangan setahun sebelumnya (Sabtu 19 Februari 2011). Pak
Awang melakukan kunjungan ini bersama-sama dengan Truedee Publishing.
Pak Awang mengikuti kunjungan sehari ke situs Gunung Padang pada Sabtu 19
februari 2011. Kunjungan ini melibatkan berbagai ahli sebagai interpreter
(penafsir) dan diikuti oleh masyarakat umum serta beberapa badan Pemerintah.
Total peserta adalah 60 orang menggunakan berbagai kendaraan (bus kecil, jeep
dan sejenisnya, motor).
Para
interpreter terdiri atas:
- Budi
Brahmantyo: ahli geologi ITB, menjelaskan situs ini secara
geologi
- Lutfi Yondri: ahli
arkeologi Balai Arkeologi, menjelaskan situs ini secara arkeologi
- Lucky
Hendrawan: ahli etnolinguistik dari sebuah sekolah seni di
Bandung, menjelaskan situs ini secara kebudayaan Sunda kuno
Kunjungan
berjalan dengan lancar dalam cuaca yang cerah dengan suasana diskusi yang
membangun dan menambah wawasan setiap peserta termasuk para interpreter.
Rombongan
berangkat dari kantor Dinas Pariwisata dan Budaya Cianjur pukul 10.40 WIB, tiba
di lokasi stasiun Lampegan (konon merupakan pembahasaaan Sunda dari kata‐kata
berbahasa Belanda ‘lamp gaan’ –lampu menyala, karena di dalam terowongan
gelap, maka masinis kereta akan berteriak ‘lamp gaan’ agar petugas
menyalakan lampu) pukul 12.05 WIB, mengunjungi terowongan Lampegan yang
dibangun pada 1879‐1882 dan direnovasi pada tahun 2000, dan tiba di situs
Gunung Padang pada pukul 13.04 WIB. Rombongan meninggalkan situs pada pukul
16.30 WIB.
Setelah
semua peserta menaiki anak tangga batuan andesit sebanyak hampir 400 anak
tangga setinggi 95 meter dengan kecuraman yang cukup terjal (sekitar 40°) yang
menantang dada dan kaki, tibalah di teras satu situs Gunung Padang. Yang
pertama terlihat adalah betapa banyaknya tiang‐tiang batu
andesit basaltik dan basal hasil peretakan meniang (columnar jointing) yang
disusun sedemikian rupa di atas teras tersebut. Pemandangan ke atas menuju
teras‐teras berikutnya juga dihiasi oleh batu‐batuan ini,
meskipun tak sebanyak di teras satu. Ribuan batuan ini disusun sedemikian rupa
untuk berbagai fungsi: ada tangga ke teras yang diapit menhir‐menhir, ada
tiga bilah batu yang seperti bekas belahan dan ditahan batu lain di bawahnya
agar tak langsung mengenai tanah seperti diperuntukkan sebagai alat musik, ada
tiang‐tiang batu yang disusun menyerupai kursi, ada beberapa
gundukan batu‐batu ibarat sebuah altar, dan masih banyak yang lain.
Situs megalitik
Gunung
Padang bisa jadi merupakan tempat upacara penyembahan yang dilengkapi dengan
alat‐alat musik terbuat dari batu. Situs Gunung Padang juga
pernah diteliti sebagai situs pertama di Indonesia yang menjadikan batuan
megalitik sebagai alat musik. Dahlan dan Situngkir (2008) dari Bandung. Fe
Institute pernah meneliti bilah‐bilah batu
yang bisa mengeluarkan nada dentingan tinggi ketika dipukul oleh batu lain.
Pengukuran frekuensi nada dan perhitungan matematika yang dilakukan mereka
menemukan bahwa bilah‐bilah batu yang diperuntukkan sebagai alat musik ini
dapat mengeluarkan nada dengan frekuensi di antara 2600‐5200 kHz
yang selaras dengan nada f’’’, g’’’, d’’’, a’’’ (‘’’ – menunjukkan tiga oktaf).
Penulis dan seorang rekan geologist mencoba memukul‐mukul tiga
bilah batu yang telah dipetakan oleh Dahlan dan Situngkir (2008) sebagai batu
musik, dan memang ketiga bilah batu ini mengeluarkan nada dengan dentingan
(pitch) yang tinggi. Bilah‐bilah batu
ini memang diperuntukkan sebagai alat musik, terbukti bahwa mereka ditahan di
atas tanah dan bagian bawah batuannya dibuat lumpang untuk menambah ruangan
gema.
Kontroversi Situs Gunung Padang
Dalam
beberapa publikasi yang terutama beredar di internet, terdapat beberapa
kontroversi yang signifikan atas situs ini, terutama tentang : (1) bahan
bangunan pembuat situs apakah hasil alam atau manusia, dan (2) umur situs ini
apakah prasejarah (sekitar 1500 SM) atau sejarah (abad ke‐15 saat
Kerajaan Sunda‐Pajajaran).
Kontroversi
pertama bisa
diyakini bahwa bahan bangunan pembuat situs ini adalah hasil alam. Para
interpreter meyakini bahwa batu‐batu pembuat
situs berasal dari pembekuan magma andesit basaltik dan lava basaltik yang
mendingin di permukaan membentuk struktur kekar‐kekar
(retakan batuan) tiang (columnar jointing). Peta geologi Lembar Cianjur
(Sudjatmiko, 1972, 2003) atau peta geologi Lembar Sindangbarang mengkonfirmasi
hal ini.
Gunung
Padang secara geologi merupakan salah satu perbukitan kompleks aliran lava
andesitik dan lava basaltik yang membentuk punggungan‐punggungan
tak beraturan dan puncak‐puncak yang
kadang‐kadang curam. Batuan lava ini berumur Pliosen (5‐2 juta tahun
yang lalu). Ketika magma dari bawah permukaan Bumi sebagai produk letusan
gunungapi purba ini mencapai permukaan dan dikenal dengan nama lava, terjadi
pendinginan serentak. Salah satu bentuk pendinginan serentak ini adalah
pembentukan tiang‐tiang batuan lava andesit dan basal saat pendinginan
terjadi dalam skala kecil dan terinci di seluruh badan lava. Arah tiang‐tiang ini
akan tegak lurus terhadap arah aliran lava. Diperkirakan bahwa Gunung Padang
pada 5‐2 juta tahun yang lalu (beberapa publikasi
menyatakannya 2,1 juta tahun) merupakan sebuah punggungan atau bukit lava yang
dibangun oleh lava andesit basaltik dan lava basal yang telah mengalami
pendinginan membentuk tiang‐tiang
batuan. Struktur tiang ini akan mengalami retak‐retak
membentuk tiang‐tiang batu dengan panjang dan diameter tiang batu
bervariasi dan setiap tiang dapat menunjukkan sisi‐sisi yang
bervariasi dari 3‐12 sisi, tetapi yang terbanyak adalah 4‐6 sisi
sebagai akibat proses pendinginan skala kecil. Tiang batu andesit dan basal di
Gunung Padang dominan bersisi empat (tetragon) atau lima (pentagon).
Diperkirakan
bahwa saat dibangun, para manusia pembangun situs ini telah menemukan bukit
lava dengan banyak tiang‐tiang batu
andesit dan basal yang sebagian tersingkap dan runtuhannya memenuhi dasar bukit
dan sekitarnya, atau sebagian digali dari dalam bukit dalam proses membuatnya
menjadi bentuk berundak‐undak. Puncak bukit dipapas, papasannya dijadikan
pengisi bagian lerengnya agar tidak terlalu curam (seperti proses cut &
fill dalam teknik sipil).
Dapat
diyakini bahwa batu‐batu penyusun situs megalitik ini bukan hasil
pemahatan yang dilakukan manusia para pembangun situs ini.
Kontroversi
kedua adalah
masalah umur pembangunan situs Gunung Padang. Masalah ini kiranya lebih sulit
dipecahkan daripada masalah pertama. Para ahli arkeologi berdasarkan bentuk
situs megalitikum ini dan kesebandingan regional menganggap umur situs ini
adalah sekitar 1500 SM, dibangun oleh manusia‐manusia
pendahulu penduduk Sunda di Jawa Barat. Tradisi‐tradisi
megalitikum di seluruh dunia, terutama yang banyak ditemukan di Inggris berupa
stone circles yaitu bangunan‐bangunan
megalitikum yang ditujukan untuk menyembah Dewa Matahari, didirikan pada 4000‐1000 SM.
Pendapat lain adalah ditemukannya ukiran berupa senjata tradisional Sunda
berupa kujang dan tapak harimau pada dua buah batu di situs Gunung Padang
membuat orang berpikir bahwa Prabu Siliwangi, raja Sunda pada abad ke‐15 merupakan
pembangun situs ini.
Laporan
perjalanan seorang pelancong Sunda, Bujangga Manik, seorang pangeran dari
Kerajaan Sunda pada abad ke‐15,
laporannya ditulis dalam bentuk sajak, ditulis di daun palem, dan kini
tersimpan di Museum Bodleian, Oxford, Inggris kiranya bisa menjadi acuan solusi
kontroversi umur situs Gunung Padang. Diperkirakan laporan tersebut selesai
ditulis pada tahun 1511. Dalam beberapa penggalan sajaknya, di antaranya sang
bujangga menulis sebagai berikut :
“Eta
huluna Ci Sokan nimu lemah kabuyutan/ na lemah nalingga manik/ teherna dek sri
maliput/ sermangun nalingga payung/ nyanghareup ka Bahu Mitra/ ku ngaing geus
dibabakan/ dibalay diundak‐undak/ dibalay
sakulilingna/ ti handap ku mungkal datar/ sermangun ku mungkal bener/ ti luhur
ku batu putih / diawuran manik asra/ carenang heuleutheuleutna/wangun tujuh
guna aing / padanan deung pakayuan…”.
Bahasa Sunda
kuno di atas mirip penggambarannya dengan kondisi punden berundak situs Gunung
Padang yang juga kebetulan terletak tidak jauh dari hulu Sungai Cisokan.
Sebagai sesama bangsawan dari Kerajaan Sunda tidaklah mungkin kalau Bujangga
Manik tidak mengenal pembangun situs ini kalau memang Prabu Siliwangi.
Situs Gunung
Padang diperkirakan memang situs prasejarah yang juga pernah dikunjungi oleh
beberapa bangsawan Kerajaan Sunda pada abad ke‐15 dan
menorehkan lambangnya pada batu‐batu yang
ada di situs itu berupa senjata kujang dan tapak harimau Siliwangi.
Kebudayaan
megalitik di Indonesia dominan berkembang pada masa ‘Kebudayaan Dongson’ pada
zaman Logam (500 SM) (Sukmono, 1973, 1990). Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya banyak perhiasan dan peralatan dari perunggu pada artefak‐artefak
megalitik seperti kubur batu. Kesulitan penentuan umur situs Gunung Padang
adalah karena tidak/belum ditemukannya artefak‐artefak
berupa manik‐manik atau peralatan terbuat dari perunggu. Penulis
melakukan pengamatan apakah ada peralatan dari logam digunakan untuk membuat situs
ini. Pada bilah‐bilah batu yang dijadikan alat musik, kelihatannya ada
jejak penggunaan logam dalam pembuatan guratan dan lumpang pada bilah batu.
Bila ini benar, maka umur situs ini bisa juga sekitar 500 SM. Atau bahwa situs
ini dibangun secara berkala dalam rentang umur yang panjang bisa saja terjadi,
misalnya dari tahun 1500‐500 SM.
Harmoni Posisi Bumi dan Langit
Pengamatan
di lapangan; pengukuran posisi, ketinggian dan azimut setiap teras; pengolahan
data posisi situs menggunakan program astronomi; memperhatikan semua keterangan
para interpreter serta diskusi‐diskusi
dengan para peserta; dan mempelajari semua bahan tulisan yang bisa diakses,
membawa penulis kepada sebuah kesimpulan yang pada intinya bahwa situs
megalitikum Gunung Padang adalah sebuah situs megalitikum prasejarah yang
dibangun untuk keperluan penyembahan dan dibangun pada posisi yang telah
memperhatikan geomantik (pola‐pola
alam/Bumi/mata angin berperan secara harmoni terhadap suatu bangunan) dan
astromantik (pola‐pola bintang dan planet berperan secara harmoni
terhadap suatu bangunan), seperti juga situs‐situs
megalitik prasejarah/sejarah lainnya di seluruh dunia (Piramida, Stonehenge,
Long Meg Stone Rigg, Castle Rigg, Loanhead of Daviot, Machu Picchu, dan
sebagainya).
Situs
megalitikum Gunung Padang telah dibangun dalam harmoni geologi sebab ia
dibangun memanfaatkan sebuah bukit punggungan/puncak lava andesit basaltik dan
lava basaltik berumur Pliosen (2,1 juta tahun) yang terbuat dari tiang‐tiang batuan
andesit dan basal yang telah terlepas secara alami karena retakan oleh
pendinginan lava (kekar tiang, columnar jointing). Batu‐batu tiang
ini kemudian ditambang oleh manusia pada zaman itu untuk membangun punden
berundak‐undak dalam proses cut & fill memanfaatkan semua
batuan berbentuk kolom/tiang yang telah ada secara alami.
Situs
megalitikum Gunung Padang telah dibangun dalam harmoni geomantik untuk tujuan
religiositas berupa penyembahan Sang Hyang atau sang penguasa alam saat itu
yang oleh manusia pada masa itu diyakini bermukim di puncak Gunung Gede. Gunung
dalam kosmologi agama purba Jawa adalah personifikasi pemberi dan pengambil. Ia
pemberi kesuburan tanah yang menunmbuhkan tanaman untuk dimakan, tetapi ia juga
adalah sang pengambil yang letusannya bisa membinasakan siapa saja. Maka gunung
harus disembah agar ia tak marah dan selalu memberi sebagai pembawa berkah.
Bahwa situs ini dipakai untuk tempat penyembahan dengan orientasi sang penguasa
di Gunung Gede dibuktikan oleh kelima teras situs ini dari yang paling rendah
(teras 1) sampai yang paling tinggi (teras 5) selalu diarahkan ke Gunung Gede
yang posisinya berada pada arah azimut rata‐rata 336,40
° UT. Di teras 2 terdapat dua menhir dan satu dolmen kecil yang kelihatannya
dipakai untuk duduk, dan itu tepat mengarah ke puncak Gunung Gede. Arah azimut
rata‐rata ini pun membentuk kelurusan dengan semua
bukit/gunung yang ada di sekitar Gunung Padang yaitu : Pasir Pogor, Gunung
Kancana, Gunung Gede, Gunung Pangrango.
Situs Gunung
Padang pun secara geologi berada pada area yang secara kegempaan cukup aktif,
yaitu tidak jauh dari sebuah patahan besar di kerak Bumi yaitu Patahan/Sesar
Cimandiri. Sesar Cimandiri adalah sesar besar yang memanjang dari Teluk
Pelabuhanratu sampai sekitar Padalarang. Bila ada pengaktifan gaya geologi di
sekitar Teluk Pelabuhanratu atau Jawa Barat Selatan, maka sesar ini sering
menjadi media penerus gaya goncangan gempa. Beberapa menhir yang terguling dan
patah di area situs ini diperkirakan sebagai efek gempa. Pembangunan situs ini
juga, terutama di teras 1 telah cukup memperhatikan masalah kelabilan area ini
dengan cara menyusun tiang‐tiang batu
secara mendatar dan saling tumpuk‐menumpuk
untuk penguatan. Dalam hubungannya dengan penyembahan, situs ini pun dapat
dibangun untuk maksud agar manusia dijauhkan dari bencana gempa atau gunungapi
yang memang sumber‐sumbernya tidak jauh dari Gunung Padang.
Tidak
seperti banyak banyak situs megalitikum lainnya (seperti Piramida, Stonehenge,
Machu Picchu) yang dibangun untuk menyembah atau mengindahkan (dewa) Matahari,
situs Gunung Padang dibangun untuk diorientasikan seluruhnya kepada Gunung
Gede. Ini nampak dari pola bangunan punden berundaknya yang asimetris, tidak
dibangun simetris ke semua sisi seperti Candi Borrobudur, tetapi hanya ke satu
sisi, yaitu Gunung Gede. Dengan demikian, Gunung Gede menempati posisi
geomantik yang sangat kuat bagi situs GunungPadang.
Secara
astonomis, situs Gunung Padang pun mempunyai harmoni dalam naungan
bintangbintang di langit. Analisis astronomi menggunakan program ‘planetarium’
menunjukkan bahwa posisi situs ini pada sekitar 2000 tahun yang lalu atau pada
masa prasejarah berada tepat di bawah bagian tengah lintasan padat bintang di
langit berupa jalur Galaksi Bima Sakti. Dan, lokasi situs Gunung Padang pun di
sisi atas dan bawah kakilangitnya masingmasing ‘dikawal’ oleh dua rasi yang
merupakan penguasa dunia bawah (Bumi) yaitu rasi serpens (ular) dan dunia atas
(Langit) yaitu rasi aquila (elang). Secara kosmologis, para pembangun situs ini
telah memperhatikan tatalangit di atasnya. Bila situs ini benar dibangun pada
masa prasejarah, pembangunannya adalah ras Austronesia yang merupakan pendatang‐pendatang
pertama di Indonesia. Mereka melintasi Nusantara dari tanah asalnya dengan cara
berlayar, dan penguasaan ilmu perbintangan/falak adalah salah satu hal mutlak
dalam pelayaran antarpulau. Mungkin juga bahwa situs ini digunakan untuk
menjadi tempat pengamatan bintang pada masa lalu.
Demikian,
situs Gunung Padang, situs prasejarah megalitik yang menurut beberapa publikasi
merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara, terletak di Kabupaten
Cianjur, ternyata sarat makna yang melibatkan faktor geologi, arkeologi,
religiositas, dan astronomi yang dibangun dalam harmoni bumi dan langit.
*** (penulis
adalah geologist, menyukai pendekatan multidimensi yang melibatkan berbagai
ilmu pengetahuan).
Dibawah ini
gambaran Gn Padang menurut pandangan seorang arsitek. Pon
Situs
Megalitik Gunung Padang menjadi pembicraan lagi ketika diduga dibawahnya ada
bangunan lain.
=B BVUYH6I8